Loading Logo
×

Blog / Detail

  • Home
  • Blog / Detail
Posisi Kritis Dan Usulan Reformasi Regulasi Profesi Advokat Dalam RUU Advokat PENETAPAN DEWAN PENGAWAS NASIONAL DAN KODE ETIK SEBAGAI PARAMETER MUTLAK ITIKAD BAIK

Posisi Kritis Dan Usulan Reformasi Regulasi Profesi Advokat Dalam RUU Advokat PENETAPAN DEWAN PENGAWAS NASIONAL DAN KODE ETIK SEBAGAI PARAMETER MUTLAK ITIKAD BAIK

21 Nov 2025

A. Latar Belakang dan Konteks Legislatif (Urgensi Revisi UU Advokat)

Profesi Advokat memegang peranan fundamental dalam sistem peradilan pidana, perdata, dan tata usaha negara sebagai salah satu pilar penegak hukum yang sejajar dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) merupakan landasan utama bagi penyelenggaraan profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam konteks pasca-reformasi. UU ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menegaskan kedudukan Advokat sebagai “officium nobile” sekaligus memberikan kerangka normatif bagi pelaksanaan fungsi pembelaan hukum yang efektif. Namun, seiring berjalannya waktu dan setelah melalui serangkaian pengujian di Mahkamah Konstitusi (MK), norma-norma dalam UU tersebut, terutama terkait hak imunitas, independensi, dan pengawasan organisasi, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk direvisi dan diperkuat.

Kebutuhan legislatif untuk merevisi UU Advokat didorong oleh beberapa perkembangan penting. Pertama, dinamika praktik hukum yang semakin kompleks, termasuk meningkatnya kriminalisasi terhadap tindakan profesional Advokat yang sebenarnya dilakukan dalam rangka pembelaan klien. Kedua, implikasi yurisprudensi Mahkamah Konstitusi yang secara langsung maupun tidak langsung telah mengubah lanskap pengaturan profesi Advokat, misalnya terkait pengaturan organisasi tunggal, mekanisme pengawasan, serta batas-batas imunitas profesi. Ketiga, realitas sosial-politik yang menunjukkan adanya kesenjangan antara desain normatif UU Advokat dan praktik penegakan hukum di lapangan, khususnya ketika Advokat berhadapan dengan aparat penegak hukum lain dalam situasi yang mengandung potensi konflik kepentingan.

Dalam kerangka pembaruan hukum nasional, urgensi revisi UU Advokat juga tercermin dari adanya dukungan politik di tingkat legislatif. Beberapa Anggota DPR RI, khususnya di Komisi yang membidangi hukum, telah menyuarakan pentingnya penguatan kedudukan pengacara atau kuasa hukum melalui revisi UU Advokat. Reformasi ini tidak semata bersifat teknis normatif, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari upaya lebih luas untuk menyelaraskan regulasi profesi Advokat dengan asas “due process of law” dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), terutama hak atas bantuan hukum dan fair trial bagi setiap orang. Dengan demikian, pengaturan mengenai Advokat tidak hanya menyangkut kepentingan korporatis profesi, melainkan berkaitan langsung dengan hak konstitusional warga negara.

Secara konseptual, perlindungan hukum bagi Advokat merupakan instrumen tidak langsung bagi perlindungan hak konstitusional warga negara untuk memperoleh pembelaan yang efektif, berimbang, dan tidak takut terhadap intervensi atau tekanan dari kekuasaan. Dalam doktrin “equality of arms”, posisi Advokat yang lemah atau tidak terlindungi berimplikasi pada timpangnya posisi terdakwa atau pihak berperkara berhadapan dengan aparatur negara. Ketika tindakan Advokat yang dilakukan dalam konteks menjalankan tugas profesionalnya mudah dikualifikasikan sebagai tindak pidana misalnya pencemaran nama baik, obstruction of justice, atau bahkan turut serta dalam tindak pidana klien maka terjadi chilling effect yang berpotensi mengurangi kualitas pembelaan. Kondisi ini menegaskan kembali pentingnya rekonstruksi norma imunitas dan mekanisme pertanggungjawaban profesi secara lebih tegas dan komprehensif dalam UU Advokat yang baru.

Di sisi lain, problematika pengaturan organisasi Advokat juga menjadi salah satu faktor kunci yang menjustifikasi perlunya revisi. Setelah Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka ruang bagi pluralitas organisasi Advokat, terjadi fragmentasi kelembagaan yang berdampak pada tidak seragamnya standar etik, mekanisme pengawasan, dan penegakan disiplin profesi. Fragmentasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai siapa yang secara sah dan efektif dapat menjatuhkan sanksi etik, bagaimana koordinasi antar-organisasi dalam penanganan pelanggaran, serta bagaimana negara menjamin bahwa penegakan etik tidak berubah menjadi alat represi atau persaingan intra-profesi. Dalam konteks ini, revisi UU Advokat dipandang perlu untuk menata ulang relasi antara organisasi profesi, negara, dan sistem peradilan, tanpa mengorbankan kemandirian (independence) profesi.

Selanjutnya, dalam perspektif hukum internasional dan komparatif, negara memiliki kewajiban untuk menjamin kebebasan dan keamanan profesi Advokat sebagaimana tercermin dalam berbagai instrumen, antara lain Prinsip-prinsip Dasar PBB mengenai Peran Pengacara (UN Basic Principles on the Role of Lawyers) dan ketentuan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) mengenai hak atas peradilan yang adil. Pengaturan nasional yang tidak memberikan standar perlindungan yang memadai terhadap Advokat berpotensi dipandang tidak selaras dengan kewajiban internasional tersebut. Oleh karena itu, revisi UU Advokat harus diarahkan untuk menginternalisasi prinsip-prinsip tersebut ke dalam norma nasional, dengan tetap memperhatikan konteks sistem hukum Indonesia dan karakteristik sistem peradilan nasional.

Dalam konteks itulah, pemeriksaan terhadap Advokat yang diduga melakukan pelanggaran etik maupun pelanggaran hukum harus dilakukan secara sistematis oleh badan profesional yang berwenang, berdasarkan standar etik yang jelas dan prosedur yang menjamin hak pembelaan. Penguatan peran dewan kehormatan, majelis kehormatan, atau badan disiplin profesi diperlukan agar setiap dugaan pelanggaran profesional terlebih dahulu dinilai dalam kerangka etik profesi, bukan langsung direduksi ke dalam rezim hukum pidana. Alih-alih mereduksi kewenangan penegak hukum formal, revisi UU Advokat justru bertujuan untuk menata ulang titik temu antara kewenangan penegak hukum dan mekanisme pengawasan profesi, sehingga tercipta konfigurasi yang seimbang antara akuntabilitas dan imunitas.⁵ Dengan demikian, perlindungan hukum bagi Advokat pada akhirnya adalah perlindungan bagi efektifitas hak konstitusional warga negara untuk memperoleh bantuan hukum yang independen, berintegritas, dan bebas dari tekanan kekuasaan.

⬅ Kembali ke Halaman Blog